Merawat Tradisi Membangun Peradaban

Minggu, 07 April 2013

Gus Dur dan Liberal NU (Kader Kultural NU)

Para intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) muslim Indonesia pada umumnya lebih terbuka dan jujur dalam perkembangan pemikiran keislaman. Tokoh muda NU, seperti Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali, lebih berani dalam menghadapi tantangan modernitas dengan ide pencerahan Islam jika dibandingkan kalangan tokoh NU atau kelompok-kelompok muslim lainnya.
TOKOH muda NU mempunyai pemikiran lebih progresif, moderat, dan terbuka dengan mengusung serta mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusifisme, dan humanisme. Di mana membuka pintu ijtihad seluas mungkin dinilai sebagai jamaah Islam liberal.
Pada umumnya, di kalangan internal NU belum begitu menerima pemikiran yang diusung para kalangan muda ini. Padahal, apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan ketua umum PB NU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain Nurchalis Majid dengan gagasan neomodernisme dan sekularisasi Islam (meski, Nurcholis tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya. Tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal), Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib (Greg Barton, 1999: 27-42).
Menurut Gus Dur, guna mempertahankan tawaran pribumisasi Islam, setidaknya ada dua alasan pokok. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam. Baik di negeri asalnya maupun negeri lain. Termasuk Indonesia. Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat. Menurutnya, adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.
Meski pemikiran dan wacana yang diusung oleh kalangan liberal NU merupakan hasil ramuan dan pengembangan pemikiran-pemikiran Gus Dur, itu tidak menjadikannya langsung diterima oleh kalangan NU. Bahkan, mereka mendapat penolakan. Lebih-lebih kalangan kiai dan sesepuh NU. Dari PB NU yang notabene organisasi yang menaungi Ulil juga memberikan tanggapan terhadap pemikiran-pemikiran yang diusung JIL, adalah K.H. Salahuddin Wahid yang menyatakan bahwa JIL –yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU– jauh liberal dari Nurcholish Madjid.
Setidaknya ada dua alasan mendasar mereka kurang diterima atau tidak mendapatkan tempat di kalangan  jamaah NU. Pertama, ide-ide yang mereka usung telah dianggap keluar dalil doktrin dan paham akidah alussunnah wal jamaah yang selama ini menjadi landasan NU secara jamiyah dan jamaahnya dalam kehidupan beragama.
Paham-paham seperti pluralism, inklusivisme dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dinilai telah melenceng dari pakem yang dipegangi NU selama ini. Pluralisme telah menyimpang karena dianggap menyamakan semua agama di muka bumi ini. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perbedaan perspektif dalam mengartikan pluralism.
Kedua, pemikiran liberal NU yang juga merupakan anak-anak didik Gus Dur terkesan elitis dan asing di kalangan NU yang notabene mayoritas dari pedesaan. Isu-isu dan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusifisme dan humanism merupakan hal yang masih agak atau bahkan sangat asing di kalangan NU. Khususnya jamaah kalangan grass root.
Para tokoh dan kiai sangat khawatir NU akan keluar dari frame doktrin ahlussunnah waljamaah yang telah ditanamkan para founding fathers NU yang sudah turun-temurun menjadi pegangan dalam perjuangan dakwah Islamiyah.
Sementara pemikiran Gus Dur yang malah menjadi sumber inspirasi kalangan liberal NU seolah biasa dan tetap bisa diterima. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal. Antara lain, pertama, karisma Gus Dur. Hal ini dikarenakan beliau merupakan keturunan ’’darah biru’’ dari hadharatusysyaikh K.H. Hasyim Asy'arie. Dengan adanya karisma ini, meski ide-ide dan pemikiran beliau dianggap liberal dan sering keluar dari frame dan mind set kalangan tokoh dan para kiai NU, sedikit tidak menggoyahkan kekuatan beliau di hati para jamaah NU. Termasuk ide dan gagasannya.
Kedua, faktor kedekatan Gus Dur dengan kalangan bawah. Dengan sikap yang apa adanya, bergaul dengan siapa saja, tidak elitis membuatnya menjadi milik setiap golongan,terutama kalangan akar rumput. Hal inilah yang menjadikan pemikiran liberal beliau tidak terkesan elitis.
Nampaknya perbedaan perspektif dalam menyikapi pemikiran liberal di kalangan NU karena perbedaan pandangan terhadap pengusung dan pengembang gagasannya. Meski gagasan liberal Islam di kalangan jamaah NU lahir dari Gus Dur, ketika ia dikembangkan oleh anak-anak didiknya, maka ada semacam resistensi di kalangan jamaah NU.
Apa pun bentuk pemikiran dan bagaimana pun reaksi masyarakat, penulis hanya bisa berharap semoga pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh mendiang Gus Dur almaghfurlah menjadi amal jariyah yang dapat memberikan siraman air ketenangan dan kebahagiaan di alam sana. Amiin ya Robbal alamiin. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar