Para intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) muslim
Indonesia pada umumnya lebih terbuka dan jujur dalam perkembangan
pemikiran keislaman. Tokoh muda NU, seperti Ulil Abshar Abdalla dan
Abdul Moqsith Ghazali, lebih berani dalam menghadapi tantangan
modernitas
dengan ide pencerahan Islam jika dibandingkan kalangan tokoh NU atau
kelompok-kelompok muslim lainnya.
TOKOH muda NU mempunyai
pemikiran lebih progresif, moderat, dan terbuka dengan mengusung serta
mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, inklusifisme,
dan humanisme. Di mana membuka pintu ijtihad seluas mungkin dinilai
sebagai jamaah Islam liberal.
Pada umumnya, di kalangan internal
NU belum begitu menerima pemikiran yang diusung para kalangan muda ini.
Padahal, apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan
pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan ketua umum PB NU. Menurut
Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di
Indonesia antara lain Nurchalis Majid dengan gagasan neomodernisme dan
sekularisasi Islam (meski, Nurcholis tidak pernah menggunakan istilah
Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya.
Tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal), Abdurrahman Wahid dengan
paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib (Greg Barton,
1999: 27-42).
Menurut Gus Dur, guna mempertahankan tawaran
pribumisasi Islam, setidaknya ada dua alasan pokok. Pertama, alasan
historis bahwa pribumisasi Islam merupakan bagian dari sejarah Islam.
Baik di negeri asalnya maupun negeri lain. Termasuk Indonesia. Kedua,
proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat.
Menurutnya, adat tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau
mengembangkan implementasinya agar lebih fleksibel.
Meski
pemikiran dan wacana yang diusung oleh kalangan liberal NU merupakan
hasil ramuan dan pengembangan pemikiran-pemikiran Gus Dur, itu tidak
menjadikannya langsung diterima oleh kalangan NU. Bahkan, mereka
mendapat penolakan. Lebih-lebih kalangan kiai dan sesepuh NU. Dari PB NU
yang notabene organisasi yang menaungi Ulil juga memberikan tanggapan
terhadap pemikiran-pemikiran yang diusung JIL, adalah K.H. Salahuddin
Wahid yang menyatakan bahwa JIL –yang kebanyakan dipelopori oleh
anak-anak muda NU– jauh liberal dari Nurcholish Madjid.
Setidaknya
ada dua alasan mendasar mereka kurang diterima atau tidak mendapatkan
tempat di kalangan jamaah NU. Pertama, ide-ide yang mereka usung telah
dianggap keluar dalil doktrin dan paham akidah alussunnah wal jamaah
yang selama ini menjadi landasan NU secara jamiyah dan jamaahnya dalam
kehidupan beragama.
Paham-paham seperti pluralism, inklusivisme
dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya dinilai telah
melenceng dari pakem yang dipegangi NU selama ini. Pluralisme telah
menyimpang karena dianggap menyamakan semua agama di muka bumi ini.
Padahal sebenarnya yang terjadi adalah perbedaan perspektif dalam
mengartikan pluralism.
Kedua, pemikiran liberal NU yang juga
merupakan anak-anak didik Gus Dur terkesan elitis dan asing di kalangan
NU yang notabene mayoritas dari pedesaan. Isu-isu dan wacana demokrasi,
penegakan HAM, pluralisme, inklusifisme dan humanism merupakan hal yang
masih agak atau bahkan sangat asing di kalangan NU. Khususnya jamaah
kalangan grass root.
Para tokoh dan kiai sangat khawatir NU akan
keluar dari frame doktrin ahlussunnah waljamaah yang telah ditanamkan
para founding fathers NU yang sudah turun-temurun menjadi pegangan dalam
perjuangan dakwah Islamiyah.
Sementara pemikiran Gus Dur yang
malah menjadi sumber inspirasi kalangan liberal NU seolah biasa dan
tetap bisa diterima. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal. Antara lain,
pertama, karisma Gus Dur. Hal ini dikarenakan beliau merupakan
keturunan ’’darah biru’’ dari hadharatusysyaikh K.H. Hasyim Asy'arie.
Dengan adanya karisma ini, meski ide-ide dan pemikiran beliau dianggap
liberal dan sering keluar dari frame dan mind set kalangan tokoh dan
para kiai NU, sedikit tidak menggoyahkan kekuatan beliau di hati para
jamaah NU. Termasuk ide dan gagasannya.
Kedua, faktor kedekatan
Gus Dur dengan kalangan bawah. Dengan sikap yang apa adanya, bergaul
dengan siapa saja, tidak elitis membuatnya menjadi milik setiap
golongan,terutama kalangan akar rumput. Hal inilah yang menjadikan
pemikiran liberal beliau tidak terkesan elitis.
Nampaknya
perbedaan perspektif dalam menyikapi pemikiran liberal di kalangan NU
karena perbedaan pandangan terhadap pengusung dan pengembang gagasannya.
Meski gagasan liberal Islam di kalangan jamaah NU lahir dari Gus Dur,
ketika ia dikembangkan oleh anak-anak didiknya, maka ada semacam
resistensi di kalangan jamaah NU.
Apa pun bentuk pemikiran dan
bagaimana pun reaksi masyarakat, penulis hanya bisa berharap semoga
pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh mendiang Gus Dur
almaghfurlah menjadi amal jariyah yang dapat memberikan siraman air
ketenangan dan kebahagiaan di alam sana. Amiin ya Robbal alamiin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar